Eksistensi Buya Hamka Tenggelam di Bawah Kaki PKI

 

Dunia Islam - Sejak dulu fatwa-fatwa ulama selalu bertentangan dengan fatwa komunis. Ini kata  Dr Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka).
Buya Hamka adalah sahabat Sukarno,  bermula di Yogyakarta pada Januari 1941 saat selesai Muktamar Muhammadiyah ke-30.
Saat Sukarno diasingkan ke Bengkulu,  Buya Hamka dan rekannya, H Abdul Karim (Oei Tjing Hin), menjenguk Sukarno.
Sukarno mengajak Hamka hijrah dari Medan ke Jakarta pada 1946. Saat itu Sukarno sudah menjadi presiden. Tetapi, Agresi Pertama pada 1947 membuat ajakan Sukarno tertunda.
Satu tahun kemudian, Sukarno mengunjungi Hamka di Buktitinggi, Sumatra Barat. Dalam lawatannya itu, Hamka menghadiahkan Bung Karno sebuah puisi berjudul "Sansai juga aku kesudahannya".
Hamka dan Sukarno pun bersahabat erat. Pada 1949, Hamka hijrah ke Jakarta.
Keakraban mulai renggang saat Hamka jadi anggota Konstituante yang lebih Islam, sedangkan Sukarno makin dekat dengan PKI.
Hamka aktif di Partai Masyumi dan PP Muhammadiyah bersama fraksi Partai Islam memperjuangkan panji-panji Islam, Sedang Sukarno makin dekat dengan PKI.
Bertahun-tahun tidak berjumpa, keduanya dipertemukan tahun  1962, Hamka mengiringi pemakaman jenazah  Mohammad Yamin,  Sukarno datang melayat.
Dua tahun setelahnya, Hamka ditangkap atas perintah Sukarno.
Irfan Hamka, putra Buya Hamka mengatakan kepada Republika, keluarganya terpukul dengan penangkapan ayahnya. “Betapa beratnya penderitaan kami sepeninggal ayah yang ditahan,” ujar Irfan.
“Buku-buku karangan ayah dilarang. Ayah tidak bisa lagi memenuhi undangan untuk berdakwah. Pemasukan uang terhenti.Ayah baru bebas setelah Pemerintahan Sukarno jatuh, digantikan oleh Soeharto. Ayah kembali melakukan kegiatan seperti sebelum ditahan Sukarno,.” katanya.
Hamka tak cuma ulama besar, tapi juga budayawan, sastrawan dan pemikir Islam. Buku-bukunya sangat apik, seperti  Tenggelamnya Kapal van der Wick ,Di Bawah Naungan Ka'bah dan banyak lagi.
Buya Hamka adalah kekayaan intelektual, pemikir, tokoh agama serta sastrawan Indonesia, yang "ditenggelamkan" Sukarno dan Orde Lama.

Ini tulisan Buya Hamka saat PKi masih berkuasa:
Mari kita segarkan kembali ingatan kita, bahwa menegakkan kebenaran itu selalu penuh tantangan.  Belum tentu yang tampak diikuti secara gegap gempita dengan segala kebesarannya adalah hal yang benar.  Ulama sejati tidak boleh mundur menyuarakan kebenaran sekalipun kesesatan tampak bagai gelombang besar di hadapannya.
Pada tanggal 17 Agustus 1958, dengan suara yang gegap gempita, Presiden Soekarno telah mencela dengan sangat keras Muktamar (Konferensi) para Alim Ulama Indonesia yang berlangsung di Palembang tahun 1957.  Berteriaklah Presiden bahwa konferensi itu adalah “komunis phobia” dan suatu perbuatan yang amoral.
Pidato yang berapi-api itu disambut dengan gemuruh oleh massa yang mendengarkan, terdiri dari parpol dan ormas yang menyebut dirinya revolusioner dan tidak terkena penyakit komunis phobia.  Sebagaimana biasa pidato itu kemudian dijadikan sebagai bagian dari ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi, semua golongan berbondong-bondong menyatakan mendukung pidato itu tanpa reserve (tanpa syarat).
Malanglah nasib alim-ulama yang berkonferensi di Palembang itu, karena dianggap sebagai orang-orang yang kontra revolusi, bagai telah tercoreng arang.  “Nasibnya telah tercoreng di dahinya”, demikian peringatan Presiden.  Banyak orang yang tidak tahu apa gerangan yang dihasilkan oleh alim-ulama yang berkonferensi itu, karena disebabkan kurangnya publikasi (atau tidak ada yang berani) yang mendukung konferensi alim-ulama itu, publikasi-publikasi pembela Soekarno dan surat-surat kabar komunis telah mencacimaki alim-ulama kita.
Perlulah kiranya resolusi Muktamar Alim-Ulama ini kita siarkan kembali agar menyegarkan ingatan umat Islam dan membandingkannya dengan Keputusan Sidang MPRS ke IV yang berlangsung bulan Juli 1966 lalu.
Muktamar yang berlangsung pada tanggal 8 – 11 September 1957 di Palembang telah memutuskan bahwa :
1. Ideologi-ajaran komunisme adalah kufur hukumnya dan haram bagi umat Islam menganutnya
2. Bagi orang yang menganut ideologi-ajaran komunisme dengan keyakinan dan kesadaran, kafirlah dia dan tidak sah menikah dan menikahkan orang Islam, tiada pusaka mempusakai dan haram jenazahnya diselenggarakan (tata-cara pengurusan) secara Islam.
3. Bagi orang yang memasuki organisasi atau partai-partai berideologi komunisme, PKI, SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), Pemuda Rakyat dan lain-lain tiada dengan keyakinan dan kesadaran, sesatlah dia dan wajib bagi umat Islam menyeru mereka meninggalkan organisasi dan partai tersebut.
Demikian bunyi resolusi yang diputuskan oleh Muktamar Alim-Ulama Seluruh Indonesia di Palembang itu.  Resolusi yang ditandatangani oleh Ketua K.H. M. Isa Anshary dan Sekretaris Ghazali Hassan.  Karena resolusi yang demikian itulah para ulama kita yang bermuktamar itu dikatakan oleh Presidennya sebagai amoral (tidak bermoral/kurangajar).
Akibat dari keputusan Muktamar tersebut, alim-ulama kita yang sejati langsung dituduh sebagai orang-orang tidak bermoral, komunis phobia, musuh revolusi dan sebagainya.  Maka K.H. M. Isa Anshary sebagai ketua yang menandatangani resolusi itu pada tahun 1962 dipenjarakan tanpa proses pengadilan selama kurang lebih 4 tahun.  Dan banyak lagi alim-ulama yang terpaksa menderita dibalik jeruji besi karena dianggap kontra revolusi.  Terbengkalai nasib keluarga, habis segala harta-benda bahkan banyak di antara mereka memiliki anak yang masih kecil-kecil.  Semua itu tidak menjadi pikiran Soekarno.  Di samping itu, ada “ulama” lain yang karena berbagai sebab memilih tunduk tanpa reserve pada Soekarno dengan ajaran-ajaran yang penuh maksiat itu, bermesra-mesra dengan komunis di bawah panji Nasakom.
Bertahun lamanya masa kemesraan dengan komunis itu berlangsung di negara kita, dalam indoktrinasi, pidato-pidato Nasakom dipuji-puji sebagai ajaran paling tinggi di dunia.  Dan ulama yang dipandang kontra revolusi yag telah memutuskan komunis sebagai paham kafir yang harus diperangi, dihina dan setiap pidato dan dalam setiap tulisan.  Meskipun sang ulama sudah meringkuk dalam tahanan, namun namanya tetap terus dicela sebagai orang paling jahat karena anti Soekarno dan anti komunis.
Nasehat dan fatwa ulama yang didasarkan kepada ajaran-ajaran Al Qur’an, dikalahkan dengan ajaran-ajaran Soekarno melalui kekerasan ala komunis.
Rupanya Allah hendak memberi dulu cobaan bagi rakyat Indonesia.  Kejahatan komunis akhirnya terbukti dengan Gestapu-nya.  Allah mencoba dulu rakyat Indonesia sebelum Dia membuktikan kebenaran apa yang dikatakan oleh alim-ulama itu hampir sepuluh tahun lalu.
Sidang MPRS ke IV pun telah mengambil keputusan mengenai komunis dan ajaran-ajarannya sebagai berikut :
“Setiap kegiatan di Indonesia untuk menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran Komunisme/Marxisme/Leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, dan penggunaan segala macam aparatur serta media bagi penyebaran atau pengembangan paham atau ajaran tersebut adalah DILARANG”.
Dengan keputusan MPRS tersebut, apa yang  mau dikata tentang alim-ulama kita yang dulu dikatakan amoral oleh Soekarno?  Insya Allah para alim-ulama kita dapat melupakan semua penghinaan dan penderitaan yang dilemparkan kepada mereka.  Dan sebagai ulama mereka tidak akan pernah bimbang walau perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan itu pasti akan beroleh ujian yang berat dari Tuhan.
Watak ulama adalah sabar dalam penderitaan dan bersyukur dalam kemenangan.
Ulama yang berani itu telah menyadarkan dirinya sendiri bahwa mereka itu adalah ahli waris para nabi.
Nabi-nabi banyak yang dibuang dari negeri kelahirannya atau seperti yang dialami Nabi Ibrahim a.s. yang dipanggan dalam api unggun yang besar bernyala-nyala, seperti Nabi Zakariya a.s. yang gugur karena digergaji dan lain-lain nabi utusan Allah.
Hargailah putusan Muktamar Alim-Ulama di Palembang itu, karena akhirnya kita semua telah membenarkannya.  Bersyukurlah kita kepada Tuhan bahwa pelajaran ini dapat kita petika bukan dari menggali perbendaharaan ulama-ulama lama tapi hanya dalam sejarah 10 tahun yang lalu.
 
(Disarikan dari Rubrik  Dari Hati ke Hati Majalah Panji Mas dari 1967 – 1981, terbitan Pustaka Panji Mas hal 319)

Related Posts:

Kisah dan Sejarah PKI di Aceh









Dunia Islam - Kisah Partai Komunis Indonesia (PKI) di Aceh tidak banyak diketahui oleh orang banyak, karena saksi hidup banyak yang memilih bungkam dan tidak mau bercerita. Kalaupun ada yang mendengar itupun dari mulut ke mulut dan hanya segelintir orang saja.
Ternyata di Aceh ada sebuah buku yang dituliskan oleh Thaib Adamy yang waktu itu menjabat sebagai Wakil Sekretaris Pertama di Comitte PKI Aceh pada era 1960-an. sebuah buku yang berjudul ‘Atjeh Mendakwa’ yang menceritakan tentang pembelaannya dalam persidangan di Pengadilan Negeri Sigli pada tanggal 12 September 1963.
Thaib Adamy disidangkan atas tuduhan keterlibatannya dalam segala kegiatan revolusioner di organisasi PKI. Buku itu dituliskan langsung oleh Thaib Adamy yang kemudian dibukukan pada tahun 1964 oleh Komite PKI Atjeh.

Tuduhan yang membuat Thaib Adamy dijerat hukum sampai dipidanakan akibat orasi politiknya yang mengajak untuk berjuang melakukan revolusi di Indonesia. Thaib Adamy menyebutkan musuh rakyat miskin adalah sistem kapitalisme yang sedang berlangsung di Negara Indonesia dan juga Aceh pada masa itu.
Saat itu Thaib Adamy yang merupakan Wakil Sekretaris Pertama Committee PKI Aceh. Dia juga  anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) Aceh dari fraksi PKI, memberikan orasi politik dalam rapat umum PKI tanggal 3 Maret 1963 di Sigli. Atas dasar itulah Pengadilan Negeri Sigli menuduh Thaib Adamy melakukan provokasi dan propaganda yang menyebabkan terjadi kerusuhan.
Dalam pledoinya, ucapan yang paling dikenal dan banyak dikutip oleh media dan penulis lainnya adalah: “Kalau pemimpin PRRI, Permesta dan DI/TII yang sudah terang melawan pemerintah RI dengan kekerasan, merusak bangunan-bangunan dan sebagainya bahkan sampai berakibat hilangnya puluhan ribu nyawa rakyat tidak dihukum, apakah adil kalau saya dipersalahkan dan dihukum karena melakukan aktivitas revolusioner, membela rakyat dan revolusi memperkuat Manipol dengan menggangjang kontra revolusi kapitalis, birokrat, pencoleng harta negara?” kata dia yang disambut dengan tepuk tangan massa yang menghadiri persidangan.
Tanggal 16 September 1963, Pengadilan Negeri Sigli yang dipimpin oleh hakim Chudari, menjatuhkan hukuman dua tahun penjara atas Thaib Adamy yang tercatat masih mewakili PKI di DPRD-GR Provinsi Daerah Istimewa Aceh pada waktu itu.
Buku ini disajikan untuk memberikan data akurat sejarah, terkait dengan sejarah PKI di Aceh dimana diseluruh perpustakaan yang ada di Aceh tidak ditemukan sama sekali menurut penelusuran penulis.
Ringkasan Pengantar Buku ATJEH MENDAKWA oleh Muhammad Samikidin Sekretaris Pertama Comite PKI Aceh/Anggota CCPKI)
Belum pernah perkara politik di Aceh yang mendapat perhatian begitu besarnja dari massa Rakyat. Sejak berita penangkapan Kawan Thaib Adamy diumumkan kepada massa Rakyat melalui Pernyataan Komite PKI Aceh tanggal 5 April 1963 jang berjudul: Madju Terus, dengan Semangat vivere peri coloso mengganjang segala Tantangan dan beberapa pernyataan berikut yang menelanjangi penangkapan itu, sampai kepada perkara ini disidangkan oleh Pengadilan Negeri Sigli sebanyak 6 kali Sidang, dimana tiap Sidang dihadiri antara 5.000 s / d 10.000 orang, teristimewa pada waktu Kawan Thaib Adamy membacakan pembelaanya selama 5 setengah jam (tidak dibenarkan minum air seteguk pun) diikuti dengan penuh perhatian oleh massa Rakyat.
Diterbitkannja brosur ini adalah sesuai dengan tuntutan masa dan selanjutnya juga sangat membantu perkembangan Partai dan gerakan revolusioner didaerah Aceh serta lebih meningkatkan pengertian Rakyat mengapa kaum munafik dan kapitalis birokrat harus diganyang.

Sejarah Partai Komunis Indonesia di Aceh

Di awal kemerdekaan, PKI dan kaum ulama punya musuh bersama: kaum uleebalang, meski tak semua disamaratakan. Toh ada juga kaum uleebalang yang bergabung dalam PUSA. Ini sama seperti seperti pidato Samadikin yang tak menyamarakan uleebalang sebagai musuh mereka. Namun, secara umum mereka punya kepentingan bersama: menjatuhkan kekuasaan uleebalang. Sejarah kemudian mencatat, momentum itulah yang menjadi titik balik perubahan status sosial di Aceh.
Hubungan yang didasari kepentingan bersama itu kemudian retak ketika sebagian kaum ulama angkat senjata menentang pemerintah Indonesia. Pada tahap ini, PKI justru mendukung tentara dan pemerintah Indonesia. Sebaliknya, ulama PUSA berada pada posisi berhadap-hadapan dengan tentara Indonesia.
Ketika Abu Beureueh dan kawan-kawan memutuskan turun gunung pada 1962, tiga tahun menjelang meletusnya penculikan para jenderal yang kelak disebut sebagai G30S PKI, hubungan tentara dan ulama mulai terjalin lagi. Pangdam saat itu Kolonel Jasin yang memerintahkan penangkapan Thaib Adamy, mulai membina hubungan harmonis dengan kaum ulama PUSA pimpinan Abu Beureueh.

Kehancuran Partai Komunis di Aceh

Malapetaka bagi PKI terjadi setelah G30S. Kaum ulama dan tentara bersepakat memberangus PKI. Ali Hasjmy dalam sebuah bukunya menulis, dua bulan setelah G30S para ulama menggelar musyawarah yang bertajuk Musyawarah Alim Ulama se-Daerah Istimewa Aceh.
Musyawarah yang berlangsung di Banda Aceh itu dipimpin ulama besar Teungku Abdullah Ujongrimba. Pertemuan itu melahirkan fatwa mengharamkan ajaran komunis di Aceh. Disebutkan,”penggerak, pelopor dan pelaksana G30S adalah kafir harbi yang wajib dibasmi.”
Musyawarah kaum ulama itu tidak lahir dengan sendirinya. Adalah Ishak Juarsa, Pangdam Iskandar Muda selaku Penguasa Perang untuk Daerah Istimewa Aceh yang meminta pendapat hukum Islam mengenai G30S. Walhasil, pada 17-18 Desember 1965 berkumpullah 56 alim ulama se-Aceh.
Kaum ulama pulalah yang mengeluarkan seruan wajib hukumnya membubarkan PKI dan mengeluarkan fatwa mati syahid bagi mereka yang terbunuh dalam penumpasan G30S. Mendapat legitimasi ulama, besoknya, pada 19 Desember 1965, Panglima Kodam I Iskandarmuda mengumumkan pembubaran PKI di Aceh.
Yang terjadi berikutnya, pembantaian yang terlalu pahit untuk dikenang. Jika pada masa Perang Cumbok PKI punya kepentingan yang sama dengan kaum ulama, tahun 1965 sejarah mencatat kaum ulama dan tentara bersekutu mengganyang PKI. Ribuan nyawa kembali melayang. Tanpa pengadilan, tanpa pembuktian. Dan PKI pun musnah sampai ke akar-akarnya di Aceh.

Nasib Partai Komunis di Aceh setelah G30S PKI

Sejak tanggal 5 Oktober 1965 di Banda Aceh dan kota lain di Aceh telah terjadi demonstrasi dari PNI (Haji Syamaun), para mahasiswa, organisasi massa. Dengan mengucapkan Allahu Akbar, mereka menuntut membubarkan PKI. Kantor PKI diobrak-abrik. Malamnya terjadi penculikan dan pembunuhan terhadap anggota dan onderbouw PKI serta Baperki.
Pada tanggal 16 Desember 1965 diadakan Musyawarah Ulama Aceh yang melahirkan fatwa komunisme hukumnya kufur dan haram (seperti telah disebutkan di atas). Oleh Pangdam I/Iskandar Muda selaku Pepelrada untuk Kodim 0101 (Kotamadya Banda Aceh dan Aceh Besar pada saat itu) selaku Kosekhan diperintahkan untuk membentuk Tim Secreening guna meneliti dan memproses para anggota PKI dan ormasnya.
Tim Secreening dapat menentukan apakah mereka terlibat atau tidak dalam G 30 S. Dengan adanya tim ini telah dapat dihindarkan tindakan liar dari para pemuda atau Ormas untuk mengambil keputusan terhadap orang yang tersangka anggota PKI serta Ormasnya.
Ketua Tim Secreening Kosekhan 0101 dipegang oleh Dandim sendiri, wakil Kapten Drs. M. Syah Asyik, anggota-anggota Letnan T.M. Jalil, Letnan M. Daud Musa (CPM), Peltu Syamsuddin (CPM), Suherman, A. Mukti, Syamsuddin (dari Kepolisian), Sudarman dari Kejaksaan Negeri dan Said Abubakar dari Biro Politik dan Keamanan.
Kantornya berada di gedung Baperki (sekarang SMP 7 Peunayong Banda Aceh), kemudian dipindahkan ke kantor Kodim 0101 di Jalan Sultan Mahmudsyah. Selain itu, anggota PKI dan ormasnya dari Kotamadya Sabang juga dibawa ke Banda Aceh untuk diseleksi terlibat atau tidak.
Sekretaris dan wakil sekretaris CC PKI Aceh, Muhammad Samidikin dan Thaib Adamy serta sejumlah anggota PKI dan ormas-ormasnya juga mereka yang diangggap PKI telah terbunuh. Thaib Adamy waktu akan dipancung dia minta disampaikan salam pada Bung Karno dan meneriakkan Hidup Bung Karno. Ketua Gerwani, Ketua Pemuda Rakyat, anggota CGMI, ketua Baperki dan lain-lainnya telah dieksekusi oleh massa pemuda. Biro khusus Nyak Amat diajukan ke pengadilan.
Keluarga (istri dan anak-anak M. Samidikin) oleh Kosekhan (Tim Screening) dikawal melalui kereta api diantar dengan selamat ke kampungnya di Tanjungpura, Sumatra Utara. Ada 1 orang anak-anak yang dibunuh oleh massa, seperti anak dari Thaib Adamy yang berumur 14 tahun. Demikian juga Kasan Siregar, mantan ketua PKI juga menemui ajal karena dieksekusi. Padahal Kasan Siregar selaku keuchik Kampung Baru, Banda Aceh seorang yang sering shalat ke Mesjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Terdapat juga aktivis PKI yang lari ke luar Aceh seperti Cut Husin, K. Ampio, dan Lim Ka Kee.
Pembersihan-pembersihan terhadap anasir-anasir PKI hingga tahun 1966 terus dilakukan, tetapi ternyata di beberapa dinas dan jawatan serta ditubuh aparat keamanan sendiri disinyalir masih ada oknum PKI maupun simpatisannya. Melihat hal ini para aktivis mahasiswa Darussalam kembali mencoba mengadakan gebrakan.
Kali ini gebrakan yang mereka lakukan bukan melalui selebaran, tetapi mereka coba melalui pemancar gelap. Beberapa pemuda dari kalangan Kesatuan Aksi Pemuda Indonesia (KAPPI) dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) seperti Mansyur Amin, Nurdin AR (mantan Bupati Pidie), Let Bugeh dan T. Syarief Alamuddin meminta agar Tjut Sofyan meminjamkan perangkat radio yang dimilikinya.
Kemudian muncullah radio Hanura (Hati Nurani Rakyat) yang mengudara dan berstudio diatas dek rumah bekas gembong Baperki yang telah direbut massa, mulai menuding satu persatu oknum PKI yang masih bercokol di pemerintahan daerah dan ditubuh aparat keamanan. Akhirnya, setelah beberapa minggu radio gelap itu mengudara mulailah bercopotan oknum dan simpatisan di dinas dan jawatan serta aparat keamanan, meskipun para aktivis itu dikejar-kejar aparat keamanan.
Dari beberapa informan dapat diketahui bahwa para eksekutor terhadap aktivis PKI, ormas-ormasnya, dan mereka “yang dianggap” PKI diantaranya ada yang dikenal dari kalangan “preman” seperti di Banda Aceh dikenal Rami Plang dan Tuan Saleh. Namun dalam perkembangannya kedua eksekutor ini pun akhirnya “disingkirkan” juga oleh OTK (orang tidak dikenal).
Adapun tempat eksekusi yang terkenal di sekitar Banda Aceh pada waktu itu adalah Mon Benggali di daerah Indrapuri dan kawasan Ie Seum (air panas) Krueng Raya. Untuk daerah di Meulaboh (Aceh Barat) tempat yang cukup dikenal sebagai tempat eksekusi adalah Rantau kepala Gajah, Kuala Trang.
Gerakan pembersihan aktivis-aktivis PKI tidak hanya terbatas di Banda Aceh saja, tetapi juga di daerah lain di Aceh. Di Kabupaten Pidie, seperti di daerah lain di Aceh, rakyat bergerak secara massa. Mereka terdiri dari partai politik, rakyat biasa, pemuda pelajar sedangkan aparat keamanan mengendalikan saja agar tidak terjadi hal-hal yang tidak melanggar hukum. Gerakan spontan dari masyarakat Pidie terjadi pada tanggal 6 Oktober 1965 setelah diketahui secara pasti bahwa PKI berada dibalik G 30 S. Saat itu, dipelopori partai NU, PNI, PSII bersama pemuda dan pelajar dan masyarakat, ribuan massa berkumpul di Mesjid Raya Sigli.
Dari situlah pertama kalinya arus massa bergerak menghancurkan markas PKI di Kuala Pidie dan kantor Baperki di kota Sigli. Rumah-rumah yang dikenal kepunyaan tokoh PKI di beberapa tempat diobrak-abrik massa sehingga hancur lebur.
Pada beberapa daerah lain di Aceh, gerakan pembersihan aktivis-aktivis PKI juga berlangsung. Di Meulaboh (Aceh Barat) kantor PKI diobrak-abrik oleh massa pemuda yang mengamuk dan para aktivisnya pun banyak yang dieksekusi. Peristiwa eksekusi aktivis PKI ini memang bukan rahasia lagi kalau terjadi di Aceh. Hal-hal serupa terjadi pula di Aceh Tenggara, Aceh Tengah, Aceh Selatan, dan Aceh Timur.

Sumber : Tengkuputeh.com

Related Posts: