Oleh: Ust. Budi Azhari
Kembali, kita belajar dari Muhammad Al Fatih. Anak kecil
yang disiapkan dengan cara yang tidak biasa agar menjadi generasi yang
tidak biasa.
Muhammad Al Fatih tidak hanya sekali ditegasi dengan
pukulan. Di tangan guru awalnya, Ahmad bin Ismail Al Kurani, Muhammad Al
Fatih merasakan sabetan untuk pelajaran pertamanya. Sebagaimana yang
telah diamanahkan oleh sang ayah Murad II yang mengerti pendidikan, sang
guru tak segan-segan untuk melakukan ketegasan itu.
Sekali ketegasan untuk kemudian berjalan tanpa ketegasan.
Tentu ini jauh lebih baik dan diharapkan oleh setiap keluarga, daripada
dia harus tarik urat setiap hari dan menampilkan ketegasan setiap saat,
karena jiwanya belum tunduk untuk kebaikan.
Mungkin, Muhammad Al Fatih kecil kecewa saat dipukul.
Sangat mungkin hatinya terluka. Tapi pendidikan Islam tak pernah
khawatir dengan itu, karena Islam mengerti betul cara membongkar
sekaligus menata ulang. Semua analisa ketakutan tentang jiwa yang
terluka tak terbukti pada hasil pendidikan Muhammad Al Fatih.
Tapi ada pukulan berikutnya dari guru berikutnya. Pukulan
kedua ini yang lebih dikenang pahit oleh Muhammad Al Fatih. Kali ini
pukulan datang dari gurunya yang mendampinginya hingga ia kelak menjadi
sultan; Aq Syamsuddin.
Bukti bahwa ini menjadi ‘kenangan’ yang terus berkecamuk di
kepalanya adalah ketika Muhammad Al Fatih telah resmi menjadi sultan,
dia bertanya kepada gurunya:
“Guru, aku mau bertanya. Masih ingatkah suatu hari guru
menyabetku, padahal aku tidak bersalah waktu itu. Sekarang aku mau
bertanya, atas dasar apa guru melakukannya?”
Bertahun-tahun lamanya pertanyaan itu mengendap dalam diri sang murid. Tentu tak mudah baginya menyimpan semua itu.
Karena yang disimpannya bukan kenangan indah. Tetapi kenangan pahit yang
mengecewakan. Karena tak ada yang mau dipukul. Apalagi dia tidak merasa
bersalah.
Kini sang murid telah menjadi orang besar. Dia ‘menuntut’
gurunya untuk menjelaskan semua yang telah bertahun-tahun mengganggu
kenyamanan hidupnya. Jawaban gurunya amat mengejutkan. Jawaban yang menunjukkan
memang ini guru yang tidak biasa. Pantas mampu melahirkan murid yang
tidak biasa.
Jawaban yang menunjukkan metode dahsyat, yang mungkin
langka dilakukan oleh metode pendidikan hari ini. Atau jangan-jangan
sekadar membahasnya pun diharamkan oleh pendidikan hari ini.
Inilah jawaban Aq Syamsuddin,
Aku sudah lama menunggu datangnya hari ini. Di mana kamu bertanya tentang pukulan itu. Sekarang kamu tahu nak, bahwa pukulan kedzaliman itu membuatmu tak bisa melupakannya begitu saja. Ia terus mengganggumu. Maka ini pelajaran untukmu di hari ketika kamu menjadi pemimpin seperti sekarang. Jangan pernah sekalipun mendzalimi masyarakatmu. Karena mereka tak pernah bisa tidur dan tak pernah lupa pahitnya kedzaliman.
Ajaib! Konsep pendidikan yang ajaib. Hasilnya pun ajaib. Muhammad Al Fatih penakluk Konstantinopel.
Maka, sampaikan kepada semua anak-anak kita. Bahwa toh kita
tidak melakukan ketegasan seperti yang dilakukan oleh Aq Syamsuddin.
Semua ketegasan kita hari ini; muka masam, cubitan, jeweran, hukuman,
pukulan pendidikan semuanya adalah tanaman yang buahnya adalah kebesaran
mereka.
Teruslah didik mereka dengan cara pendidikan Islami. Kalau
harus ada yang diluruskan maka ketegasan adalah salah satu metode mahal
yang dimiliki Islam.
Semoga suatu hari nanti, saat anak-anak kita telah mencapai kebesarannya, kita akan berkata semisal Aq Syamsuddin berkata,
Hari ini, saat masih dalam proses pendidikan, Anda pun sudah bisa berkata kepada mereka,“Kini kau telah menjadi orang besar, nak. Masih ingatkah kau akan cubitan dan pukulan ayah dan bunda sore itu? Inilah hari ketika kau memetik hasilnya.”
“Hari ini mungkin kau kecewa, tapi suatu hari nanti kau akan mengenang ayah dan bunda dalam syukur atas ketegasan hari ini.”
0 Response to "Beginilah Didikan Waktu Kecil Sang Penakluk Konstantinopel"
Post a Comment