Dunia Islam - Kisah Partai Komunis Indonesia (PKI) di Aceh tidak banyak diketahui
oleh orang banyak, karena saksi hidup banyak yang memilih bungkam dan
tidak mau bercerita. Kalaupun ada yang mendengar itupun dari mulut ke
mulut dan hanya segelintir orang saja.
Ternyata di Aceh ada sebuah buku yang
dituliskan oleh Thaib Adamy yang waktu itu menjabat sebagai Wakil
Sekretaris Pertama di Comitte PKI Aceh pada era 1960-an. sebuah buku
yang berjudul ‘Atjeh Mendakwa’ yang menceritakan tentang pembelaannya
dalam persidangan di Pengadilan Negeri Sigli pada tanggal 12 September
1963.
Thaib Adamy disidangkan atas tuduhan
keterlibatannya dalam segala kegiatan revolusioner di organisasi PKI.
Buku itu dituliskan langsung oleh Thaib Adamy yang kemudian dibukukan
pada tahun 1964 oleh Komite PKI Atjeh.
Tuduhan yang membuat Thaib Adamy dijerat
hukum sampai dipidanakan akibat orasi politiknya yang mengajak untuk
berjuang melakukan revolusi di Indonesia. Thaib Adamy menyebutkan musuh
rakyat miskin adalah sistem kapitalisme yang sedang berlangsung di
Negara Indonesia dan juga Aceh pada masa itu.
Saat itu Thaib Adamy yang merupakan
Wakil Sekretaris Pertama Committee PKI Aceh. Dia juga anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) Aceh dari fraksi PKI, memberikan
orasi politik dalam rapat umum PKI tanggal 3 Maret 1963 di Sigli. Atas
dasar itulah Pengadilan Negeri Sigli menuduh Thaib Adamy melakukan
provokasi dan propaganda yang menyebabkan terjadi kerusuhan.
Dalam pledoinya, ucapan yang paling dikenal dan banyak dikutip oleh media dan penulis lainnya adalah: “Kalau
pemimpin PRRI, Permesta dan DI/TII yang sudah terang melawan pemerintah
RI dengan kekerasan, merusak bangunan-bangunan dan sebagainya bahkan
sampai berakibat hilangnya puluhan ribu nyawa rakyat tidak dihukum,
apakah adil kalau saya dipersalahkan dan dihukum karena melakukan
aktivitas revolusioner, membela rakyat dan revolusi memperkuat Manipol
dengan menggangjang kontra revolusi kapitalis, birokrat, pencoleng harta
negara?” kata dia yang disambut dengan tepuk tangan massa yang menghadiri persidangan.
Tanggal 16 September 1963, Pengadilan
Negeri Sigli yang dipimpin oleh hakim Chudari, menjatuhkan hukuman dua
tahun penjara atas Thaib Adamy yang tercatat masih mewakili PKI di
DPRD-GR Provinsi Daerah Istimewa Aceh pada waktu itu.
Buku ini disajikan untuk memberikan data
akurat sejarah, terkait dengan sejarah PKI di Aceh dimana diseluruh
perpustakaan yang ada di Aceh tidak ditemukan sama sekali menurut
penelusuran penulis.
Ringkasan Pengantar Buku ATJEH MENDAKWA oleh Muhammad Samikidin Sekretaris Pertama Comite PKI Aceh/Anggota CCPKI)
Belum pernah perkara politik di Aceh
yang mendapat perhatian begitu besarnja dari massa Rakyat. Sejak berita
penangkapan Kawan Thaib Adamy diumumkan kepada massa Rakyat melalui
Pernyataan Komite PKI Aceh tanggal 5 April 1963 jang berjudul: Madju Terus, dengan Semangat vivere peri coloso mengganjang segala Tantangan
dan beberapa pernyataan berikut yang menelanjangi penangkapan itu,
sampai kepada perkara ini disidangkan oleh Pengadilan Negeri Sigli
sebanyak 6 kali Sidang, dimana tiap Sidang dihadiri antara 5.000 s / d
10.000 orang, teristimewa pada waktu Kawan Thaib Adamy membacakan
pembelaanya selama 5 setengah jam (tidak dibenarkan minum air seteguk
pun) diikuti dengan penuh perhatian oleh massa Rakyat.
Diterbitkannja brosur ini adalah sesuai
dengan tuntutan masa dan selanjutnya juga sangat membantu perkembangan
Partai dan gerakan revolusioner didaerah Aceh serta lebih meningkatkan
pengertian Rakyat mengapa kaum munafik dan kapitalis birokrat harus
diganyang.
Sejarah Partai Komunis Indonesia di Aceh
Di awal kemerdekaan, PKI dan kaum ulama
punya musuh bersama: kaum uleebalang, meski tak semua disamaratakan. Toh
ada juga kaum uleebalang yang bergabung dalam PUSA. Ini sama seperti
seperti pidato Samadikin yang tak menyamarakan uleebalang sebagai musuh
mereka. Namun, secara umum mereka punya kepentingan bersama: menjatuhkan
kekuasaan uleebalang. Sejarah kemudian mencatat, momentum itulah yang
menjadi titik balik perubahan status sosial di Aceh.
Hubungan yang didasari kepentingan
bersama itu kemudian retak ketika sebagian kaum ulama angkat senjata
menentang pemerintah Indonesia. Pada tahap ini, PKI justru mendukung
tentara dan pemerintah Indonesia. Sebaliknya, ulama PUSA berada pada
posisi berhadap-hadapan dengan tentara Indonesia.
Ketika Abu Beureueh dan kawan-kawan
memutuskan turun gunung pada 1962, tiga tahun menjelang meletusnya
penculikan para jenderal yang kelak disebut sebagai G30S PKI, hubungan
tentara dan ulama mulai terjalin lagi. Pangdam saat itu Kolonel Jasin
yang memerintahkan penangkapan Thaib Adamy, mulai membina hubungan
harmonis dengan kaum ulama PUSA pimpinan Abu Beureueh.
Kehancuran Partai Komunis di Aceh
Malapetaka bagi PKI terjadi setelah
G30S. Kaum ulama dan tentara bersepakat memberangus PKI. Ali Hasjmy
dalam sebuah bukunya menulis, dua bulan setelah G30S para ulama
menggelar musyawarah yang bertajuk Musyawarah Alim Ulama se-Daerah
Istimewa Aceh.
Musyawarah yang berlangsung di Banda
Aceh itu dipimpin ulama besar Teungku Abdullah Ujongrimba. Pertemuan itu
melahirkan fatwa mengharamkan ajaran komunis di Aceh. Disebutkan,”penggerak, pelopor dan pelaksana G30S adalah kafir harbi yang wajib dibasmi.”
Musyawarah kaum ulama itu tidak lahir
dengan sendirinya. Adalah Ishak Juarsa, Pangdam Iskandar Muda selaku
Penguasa Perang untuk Daerah Istimewa Aceh yang meminta pendapat hukum
Islam mengenai G30S. Walhasil, pada 17-18 Desember 1965 berkumpullah 56
alim ulama se-Aceh.
Kaum ulama pulalah yang mengeluarkan
seruan wajib hukumnya membubarkan PKI dan mengeluarkan fatwa mati syahid
bagi mereka yang terbunuh dalam penumpasan G30S. Mendapat legitimasi
ulama, besoknya, pada 19 Desember 1965, Panglima Kodam I Iskandarmuda
mengumumkan pembubaran PKI di Aceh.
Yang terjadi berikutnya, pembantaian
yang terlalu pahit untuk dikenang. Jika pada masa Perang Cumbok PKI
punya kepentingan yang sama dengan kaum ulama, tahun 1965 sejarah
mencatat kaum ulama dan tentara bersekutu mengganyang PKI. Ribuan nyawa
kembali melayang. Tanpa pengadilan, tanpa pembuktian. Dan PKI pun musnah
sampai ke akar-akarnya di Aceh.
Nasib Partai Komunis di Aceh setelah G30S PKI
Sejak tanggal 5 Oktober 1965 di Banda
Aceh dan kota lain di Aceh telah terjadi demonstrasi dari PNI (Haji
Syamaun), para mahasiswa, organisasi massa. Dengan mengucapkan Allahu Akbar, mereka menuntut membubarkan PKI. Kantor PKI diobrak-abrik. Malamnya terjadi penculikan dan pembunuhan terhadap anggota dan onderbouw PKI serta Baperki.
Pada tanggal 16 Desember 1965 diadakan
Musyawarah Ulama Aceh yang melahirkan fatwa komunisme hukumnya kufur dan
haram (seperti telah disebutkan di atas). Oleh Pangdam I/Iskandar Muda
selaku Pepelrada untuk Kodim 0101 (Kotamadya Banda Aceh dan Aceh Besar
pada saat itu) selaku Kosekhan diperintahkan untuk membentuk Tim Secreening guna meneliti dan memproses para anggota PKI dan ormasnya.
Tim Secreening dapat menentukan
apakah mereka terlibat atau tidak dalam G 30 S. Dengan adanya tim ini
telah dapat dihindarkan tindakan liar dari para pemuda atau Ormas untuk
mengambil keputusan terhadap orang yang tersangka anggota PKI serta
Ormasnya.
Ketua Tim Secreening Kosekhan
0101 dipegang oleh Dandim sendiri, wakil Kapten Drs. M. Syah Asyik,
anggota-anggota Letnan T.M. Jalil, Letnan M. Daud Musa (CPM), Peltu
Syamsuddin (CPM), Suherman, A. Mukti, Syamsuddin (dari Kepolisian),
Sudarman dari Kejaksaan Negeri dan Said Abubakar dari Biro Politik dan
Keamanan.
Kantornya berada di gedung Baperki
(sekarang SMP 7 Peunayong Banda Aceh), kemudian dipindahkan ke kantor
Kodim 0101 di Jalan Sultan Mahmudsyah. Selain itu, anggota PKI dan
ormasnya dari Kotamadya Sabang juga dibawa ke Banda Aceh untuk diseleksi
terlibat atau tidak.
Sekretaris dan wakil sekretaris CC PKI
Aceh, Muhammad Samidikin dan Thaib Adamy serta sejumlah anggota PKI dan
ormas-ormasnya juga mereka yang diangggap PKI telah terbunuh. Thaib
Adamy waktu akan dipancung dia minta disampaikan salam pada Bung Karno
dan meneriakkan Hidup Bung Karno. Ketua Gerwani, Ketua Pemuda Rakyat,
anggota CGMI, ketua Baperki dan lain-lainnya telah dieksekusi oleh massa
pemuda. Biro khusus Nyak Amat diajukan ke pengadilan.
Keluarga (istri dan anak-anak M. Samidikin) oleh Kosekhan (Tim Screening)
dikawal melalui kereta api diantar dengan selamat ke kampungnya di
Tanjungpura, Sumatra Utara. Ada 1 orang anak-anak yang dibunuh oleh
massa, seperti anak dari Thaib Adamy yang berumur 14 tahun. Demikian
juga Kasan Siregar, mantan ketua PKI juga menemui ajal karena
dieksekusi. Padahal Kasan Siregar selaku keuchik Kampung Baru,
Banda Aceh seorang yang sering shalat ke Mesjid Raya Baiturrahman Banda
Aceh. Terdapat juga aktivis PKI yang lari ke luar Aceh seperti Cut
Husin, K. Ampio, dan Lim Ka Kee.
Pembersihan-pembersihan terhadap
anasir-anasir PKI hingga tahun 1966 terus dilakukan, tetapi ternyata di
beberapa dinas dan jawatan serta ditubuh aparat keamanan sendiri
disinyalir masih ada oknum PKI maupun simpatisannya. Melihat hal ini
para aktivis mahasiswa Darussalam kembali mencoba mengadakan gebrakan.
Kali ini gebrakan yang mereka lakukan
bukan melalui selebaran, tetapi mereka coba melalui pemancar gelap.
Beberapa pemuda dari kalangan Kesatuan Aksi Pemuda Indonesia (KAPPI) dan
Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) seperti Mansyur Amin, Nurdin
AR (mantan Bupati Pidie), Let Bugeh dan T. Syarief Alamuddin meminta
agar Tjut Sofyan meminjamkan perangkat radio yang dimilikinya.
Kemudian muncullah radio Hanura (Hati
Nurani Rakyat) yang mengudara dan berstudio diatas dek rumah bekas
gembong Baperki yang telah direbut massa, mulai menuding satu persatu
oknum PKI yang masih bercokol di pemerintahan daerah dan ditubuh aparat
keamanan. Akhirnya, setelah beberapa minggu radio gelap itu mengudara
mulailah bercopotan oknum dan simpatisan di dinas dan jawatan serta
aparat keamanan, meskipun para aktivis itu dikejar-kejar aparat
keamanan.
Dari beberapa informan dapat diketahui
bahwa para eksekutor terhadap aktivis PKI, ormas-ormasnya, dan mereka
“yang dianggap” PKI diantaranya ada yang dikenal dari kalangan “preman”
seperti di Banda Aceh dikenal Rami Plang dan Tuan Saleh. Namun dalam
perkembangannya kedua eksekutor ini pun akhirnya “disingkirkan” juga
oleh OTK (orang tidak dikenal).
Adapun tempat eksekusi yang terkenal di
sekitar Banda Aceh pada waktu itu adalah Mon Benggali di daerah
Indrapuri dan kawasan Ie Seum (air panas) Krueng Raya. Untuk daerah di
Meulaboh (Aceh Barat) tempat yang cukup dikenal sebagai tempat eksekusi
adalah Rantau kepala Gajah, Kuala Trang.
Gerakan pembersihan aktivis-aktivis PKI
tidak hanya terbatas di Banda Aceh saja, tetapi juga di daerah lain di
Aceh. Di Kabupaten Pidie, seperti di daerah lain di Aceh, rakyat
bergerak secara massa. Mereka terdiri dari partai politik, rakyat biasa,
pemuda pelajar sedangkan aparat keamanan mengendalikan saja agar tidak
terjadi hal-hal yang tidak melanggar hukum. Gerakan spontan dari
masyarakat Pidie terjadi pada tanggal 6 Oktober 1965 setelah diketahui
secara pasti bahwa PKI berada dibalik G 30 S. Saat itu, dipelopori
partai NU, PNI, PSII bersama pemuda dan pelajar dan masyarakat, ribuan
massa berkumpul di Mesjid Raya Sigli.
Dari situlah pertama kalinya arus massa
bergerak menghancurkan markas PKI di Kuala Pidie dan kantor Baperki di
kota Sigli. Rumah-rumah yang dikenal kepunyaan tokoh PKI di beberapa
tempat diobrak-abrik massa sehingga hancur lebur.
Pada beberapa daerah lain di Aceh,
gerakan pembersihan aktivis-aktivis PKI juga berlangsung. Di Meulaboh
(Aceh Barat) kantor PKI diobrak-abrik oleh massa pemuda yang mengamuk
dan para aktivisnya pun banyak yang dieksekusi. Peristiwa eksekusi
aktivis PKI ini memang bukan rahasia lagi kalau terjadi di Aceh. Hal-hal
serupa terjadi pula di Aceh Tenggara, Aceh Tengah, Aceh Selatan, dan
Aceh Timur.
Sumber : Tengkuputeh.com
Related Posts: